Makna Lamak dalam Pelaksanaan Upacara di Bali
30 October 2017
BALI EXPRESS, DENPASAR - Masyarakat Bali (Hindu) mengenal banyak sarana dan prasarana upakara , di mana salah satunya dinamai Lamak. Apa dan bagaimana sejatinya makna Lamak dalam pelaksanaan upacara di Bali?
Budayawan Kota Denpasar, Gede Anom Ranuara menjellaskan bahwa Lamak merupakan salah satu perlengkapan atau uperengga upakara di Bali yang termasuk dalam gologan Cenigan. "Cenigan merupakan kelengkapan upakara yang terbuat dari dedaunan dan diletakkan di beberapa lokasi, di antaranya di palinggih dan pelangkiran," bebernya, ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Dikatakannya, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Lamak tersebut merupakan unsur dekorasi guna memperindah suatu palinggih atau pelangkiran saja. "Sejatinya banyak makna yang terkandung dari pemasangan Lamak pada palinggih dan pelangkiran di Bali," ungkapnya.
Menurut Anom Ranuara, Lamak adalah semacam taplak dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan di ruang-ruang kecil atau rong pada bangunan pura di Bali yang dinamakan dengan palinggih sebagai alas untuk meletakkan sajian persembahan. Sedangkan, dalam bahasa Kawi atau Jawa kuna, arti kata Lamak adalah alas. "Jadi, dapat disimpulkan bahwa Lamak adalah sebuah uperengga upakara yang berfungsi sebagai alas suatu persembahan," ungkapnya.
Lebih lanjut kata Anom Ranuara, di dalam Lamak terdapat berbagai ukiran yang bermakna sebagai simbol-simbol agama. Yakni simbol gunung, simbol kayonan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari, dan lain sebagainya. Dalam pemasanganya nanti, Lamak dirangkaikan denga plawa, canang, dan dupa. Serta dilengkapi dengan sampian gantung. " Makanya, ada ungkapan bahwa sampian gantung matimpal ajak Lamak, jadi itu satu paket," terangnya.
Berbagai ornamen yang digunakan seperti gunung, lanjutnya, diyakini sebagai sumber kehidupan yang kaitanya sangat erat dengan kayonan. Cili-cilian merupakan simbol purusa dan pradana yang nantinya memiliki penekanan kepada konsep rwabhineda. Bintang diyakini sebagai simbol kesejahteraan. Matahari sebagai simbol surya yang diyakini sebagai pemberi kehidupan. "Dalam sebuah Lamak, segala jenis isi bumi dan alam semesta terdapat dalam ornamennya," jelas pria asal Desa Kesiman Petilan ini.
Ditambahkannya, sesuai fungsinya sebagai alas, tentu saja sama seperi bumi yang menjadi alas dari kehidupan manusia.
Selain beberapa ornamen, yg menyimpulkan alam, terdapat juga ornamen yang berbentuk uang bolong atau Pis Bolong. Diperkirakan munculnya ornamen tersebut merupakan bentuk akulturasi antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Tionghoa di masa lampau.
Namun, pihaknya tak memungkiri bahwa banyak masyarakat Bali yang memanfaatkan Lamak sebagai sarana dekorasi. Hal itu tidaklah salah, hanya saja perlu diperhatikan bagaimana cara membuat Lamak yang sesuai dengan tattwa agama Hindu di Bali.
Berdasarkan Lontar Tutur Rare Angon, terdapat tiga jenis Lamak di Bali. Hal ini sesuai dengan tata cara pemasangan Lamak tersebut. Tiga jenis Lamak tersebut adalah Lamak Terujungan yang biasanya dipasang di lebuh atau halaman depan rumah, ketika pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya atau Tawur. Kedua, yakni Lamak kecil yang biasa digunakan pada beberapa palinggih , seperti Apit Lawang dan tugu. Dan , yang ketiga adalah Lamak Besar yang biasa dipasang di palinggih besar, seperti Padmasana, Gedong dan lain sebagainya Baca Selengkapnya...
Sumber artikel : www.jawapos.com
BALI EXPRESS, DENPASAR - Masyarakat Bali (Hindu) mengenal banyak sarana dan prasarana upakara , di mana salah satunya dinamai Lamak. Apa dan bagaimana sejatinya makna Lamak dalam pelaksanaan upacara di Bali?
Budayawan Kota Denpasar, Gede Anom Ranuara menjellaskan bahwa Lamak merupakan salah satu perlengkapan atau uperengga upakara di Bali yang termasuk dalam gologan Cenigan. "Cenigan merupakan kelengkapan upakara yang terbuat dari dedaunan dan diletakkan di beberapa lokasi, di antaranya di palinggih dan pelangkiran," bebernya, ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Dikatakannya, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Lamak tersebut merupakan unsur dekorasi guna memperindah suatu palinggih atau pelangkiran saja. "Sejatinya banyak makna yang terkandung dari pemasangan Lamak pada palinggih dan pelangkiran di Bali," ungkapnya.
Menurut Anom Ranuara, Lamak adalah semacam taplak dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan di ruang-ruang kecil atau rong pada bangunan pura di Bali yang dinamakan dengan palinggih sebagai alas untuk meletakkan sajian persembahan. Sedangkan, dalam bahasa Kawi atau Jawa kuna, arti kata Lamak adalah alas. "Jadi, dapat disimpulkan bahwa Lamak adalah sebuah uperengga upakara yang berfungsi sebagai alas suatu persembahan," ungkapnya.
Lebih lanjut kata Anom Ranuara, di dalam Lamak terdapat berbagai ukiran yang bermakna sebagai simbol-simbol agama. Yakni simbol gunung, simbol kayonan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari, dan lain sebagainya. Dalam pemasanganya nanti, Lamak dirangkaikan denga plawa, canang, dan dupa. Serta dilengkapi dengan sampian gantung. " Makanya, ada ungkapan bahwa sampian gantung matimpal ajak Lamak, jadi itu satu paket," terangnya.
Berbagai ornamen yang digunakan seperti gunung, lanjutnya, diyakini sebagai sumber kehidupan yang kaitanya sangat erat dengan kayonan. Cili-cilian merupakan simbol purusa dan pradana yang nantinya memiliki penekanan kepada konsep rwabhineda. Bintang diyakini sebagai simbol kesejahteraan. Matahari sebagai simbol surya yang diyakini sebagai pemberi kehidupan. "Dalam sebuah Lamak, segala jenis isi bumi dan alam semesta terdapat dalam ornamennya," jelas pria asal Desa Kesiman Petilan ini.
Ditambahkannya, sesuai fungsinya sebagai alas, tentu saja sama seperi bumi yang menjadi alas dari kehidupan manusia.
Selain beberapa ornamen, yg menyimpulkan alam, terdapat juga ornamen yang berbentuk uang bolong atau Pis Bolong. Diperkirakan munculnya ornamen tersebut merupakan bentuk akulturasi antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Tionghoa di masa lampau.
Namun, pihaknya tak memungkiri bahwa banyak masyarakat Bali yang memanfaatkan Lamak sebagai sarana dekorasi. Hal itu tidaklah salah, hanya saja perlu diperhatikan bagaimana cara membuat Lamak yang sesuai dengan tattwa agama Hindu di Bali.
Berdasarkan Lontar Tutur Rare Angon, terdapat tiga jenis Lamak di Bali. Hal ini sesuai dengan tata cara pemasangan Lamak tersebut. Tiga jenis Lamak tersebut adalah Lamak Terujungan yang biasanya dipasang di lebuh atau halaman depan rumah, ketika pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya atau Tawur. Kedua, yakni Lamak kecil yang biasa digunakan pada beberapa palinggih , seperti Apit Lawang dan tugu. Dan , yang ketiga adalah Lamak Besar yang biasa dipasang di palinggih besar, seperti Padmasana, Gedong dan lain sebagainya Baca Selengkapnya...
Sumber artikel : www.jawapos.com