Jangan Jadi Orang Miskin yang Duitnya Banyak
Jangan Jadi Orang Miskin yang Duitnya Banyak
05 September 2017
Posted By: Money & I Magazine
Somehow, kata kaya mempunyai konotasi negatif. Isu kekayaan, baru-baru saja ramai dibicarakan, diperbincangkan. Dulu, kayaknya tabu buat kita
berbicara mengenai kekayaan. Yang belum kaya menganggap kekayaan bukanlah sesuatu yang perlu dikejar-kejar. Yang sudah kaya, risih mengakui dirinya kaya, dan berusaha menyembunyikan kekayaannya.
Orang kaya, bahkan sering digambarkan sebagai orang yang kikir. Gober bebek adalah tokoh kartun yang kaya raya sehingga sering mandi di gudang uangnya, namun kikir, pelit melilit.
Waktu saya kecil, Gober Bebek adalah salah satu tokoh kartun yang sangat populer.
Orang kaya, yang sering kita lihat adalah orang yang serakah. Hidupnya ditujukan mencari uang melulu tanpa memikirkan orang lain. Karyawannya dibayar dengan gaji yang rendah, serendah-rendahnya, sementara dirinya menjadi kaya sekaya-kayanya.
Orang kaya juga sering kali korup. Menyalahgunakan kewenangannya buat kepentingan pribadinya.
Orang kaya atau menjadi kaya, somehow associated dengan sesuatu yang negatif. Kikir, tamak dan korup. Dan semua orang tidak ingin menjadi kikir, tamak dan korup.
Jadilah kondisi yang seperti sekarang ini, kita ingin menjadi kaya, namun dibawah sadar meng-asosiasikan kekayaan dengan sesuatu yang negatif. Bahkan menggunakan kata kaya saja risih.
Efek mengasosiasikan kata kaya dengan sesuatu yang negatif ini sangatlah dahsyat.
Otak kita menjadi bingung. Kita ingin mencapai citacita. Ingin menjadi sukses. Namun kalau kita sukses, kita akan menjadi kaya. Dan menjadi kaya artinya menjadi orang yang tidak kita inginkan. Karena kaya identik dengan kikir, identik dengan serakah, identik dengan korup.
Akibatnya kita ‘mensabotase’ sukses kita sendiri. Tony Robbins mengatakan, “If you find yourself two step forward and one step back, it is because your mind is not congruent.”
Dan harus diakui, I’m one of them.
Saya lebih sering menggunakan kata wealth dibandingkan kaya. Kata kaya itu tidak mengenakkan buat saya.
Ketika saya menulis artikel ini, saya harus memerangi natural insting saya. Saya berusaha menetralkan kata kaya di alam bawah sadar saya. Bahwa menjadi kaya bukan berarti menjadi kikir seperti Gober bebek. Bahwa menjadi kaya bukan berarti kita sewenang-wenang menginjak-injak orang lain. Bahwa menjadi kaya bukan berarti kita korup.
Menjadi kaya berarti kita bisa menyumbang keluarga yang kurang beruntung. Menjadi kaya berarti kita bisa menolong sesama. Kita menjadi kaya dengan menciptakan nilai tambah yang kita bagi-bagi sehinga tidak perlu serakah. Banyak cara menjadi kaya tanpa harus korup.
“Menjadi kaya itu Mulia,” demikian kata Deng Xioping.
Menjadi kaya itu bukannya serakah, melainkan pemurah. Dan ketika saya menjadi kaya, saya akan menjadi orang kaya yang pemurah. Jangan jadi orang yang kikir, pelit melilit. Jangan jadi orang miskin yang duitnya banyak. Menjadi kaya yang pemurah, yang memberi manfaat adalah ‘the new associaton’ yang harus saya install di pemikiran bawah sadar saya.
Sumber artikel : Money & I
Posted By: Money & I Magazine
Somehow, kata kaya mempunyai konotasi negatif. Isu kekayaan, baru-baru saja ramai dibicarakan, diperbincangkan. Dulu, kayaknya tabu buat kita
berbicara mengenai kekayaan. Yang belum kaya menganggap kekayaan bukanlah sesuatu yang perlu dikejar-kejar. Yang sudah kaya, risih mengakui dirinya kaya, dan berusaha menyembunyikan kekayaannya.
Orang kaya, bahkan sering digambarkan sebagai orang yang kikir. Gober bebek adalah tokoh kartun yang kaya raya sehingga sering mandi di gudang uangnya, namun kikir, pelit melilit.
Waktu saya kecil, Gober Bebek adalah salah satu tokoh kartun yang sangat populer.
Orang kaya, yang sering kita lihat adalah orang yang serakah. Hidupnya ditujukan mencari uang melulu tanpa memikirkan orang lain. Karyawannya dibayar dengan gaji yang rendah, serendah-rendahnya, sementara dirinya menjadi kaya sekaya-kayanya.
Orang kaya juga sering kali korup. Menyalahgunakan kewenangannya buat kepentingan pribadinya.
Orang kaya atau menjadi kaya, somehow associated dengan sesuatu yang negatif. Kikir, tamak dan korup. Dan semua orang tidak ingin menjadi kikir, tamak dan korup.
Jadilah kondisi yang seperti sekarang ini, kita ingin menjadi kaya, namun dibawah sadar meng-asosiasikan kekayaan dengan sesuatu yang negatif. Bahkan menggunakan kata kaya saja risih.
Efek mengasosiasikan kata kaya dengan sesuatu yang negatif ini sangatlah dahsyat.
Otak kita menjadi bingung. Kita ingin mencapai citacita. Ingin menjadi sukses. Namun kalau kita sukses, kita akan menjadi kaya. Dan menjadi kaya artinya menjadi orang yang tidak kita inginkan. Karena kaya identik dengan kikir, identik dengan serakah, identik dengan korup.
Akibatnya kita ‘mensabotase’ sukses kita sendiri. Tony Robbins mengatakan, “If you find yourself two step forward and one step back, it is because your mind is not congruent.”
Dan harus diakui, I’m one of them.
Saya lebih sering menggunakan kata wealth dibandingkan kaya. Kata kaya itu tidak mengenakkan buat saya.
Ketika saya menulis artikel ini, saya harus memerangi natural insting saya. Saya berusaha menetralkan kata kaya di alam bawah sadar saya. Bahwa menjadi kaya bukan berarti menjadi kikir seperti Gober bebek. Bahwa menjadi kaya bukan berarti kita sewenang-wenang menginjak-injak orang lain. Bahwa menjadi kaya bukan berarti kita korup.
Menjadi kaya berarti kita bisa menyumbang keluarga yang kurang beruntung. Menjadi kaya berarti kita bisa menolong sesama. Kita menjadi kaya dengan menciptakan nilai tambah yang kita bagi-bagi sehinga tidak perlu serakah. Banyak cara menjadi kaya tanpa harus korup.
“Menjadi kaya itu Mulia,” demikian kata Deng Xioping.
Menjadi kaya itu bukannya serakah, melainkan pemurah. Dan ketika saya menjadi kaya, saya akan menjadi orang kaya yang pemurah. Jangan jadi orang yang kikir, pelit melilit. Jangan jadi orang miskin yang duitnya banyak. Menjadi kaya yang pemurah, yang memberi manfaat adalah ‘the new associaton’ yang harus saya install di pemikiran bawah sadar saya.
Sumber artikel : Money & I